Hari ini, sepuluh November, setiap tahunnya, didedikasikan untuk mengenang jasa para pahlawan di seluruh Indonesia atas perjuangan dan pengorbanan mereka dalam merebut kemerdekaan dari para kolonialis, dan juga untuk mereka yang telah berkontribusi dalam proses pembangunan pascakemerdekaan.
Beragam acara dan seremoni dibuat, tapi jamaknya adalah upacara dan mengheningkan cipta dilanjutkan dengan tabur bunga saat ziarah ke makam-makam pahlawan. Namun, bagi tulang belulang yang berserakan di makam itu, apakah makna yang kita berikan kepada mereka?
Ataukah tak ada lagi perempuan di negeri ini yang mampu melahirkan orang-orang seperti mereka? Sama halnya dengan perempuan Arab yang tidak mampu lagi melahirkan lelaki seperti Khalid bin Walid?
Ataukah tak lagi ada ibu yang mau, seperti kata Taufik Ismail di tahun 1966, “Merelakan kalian pergi berdemonstrasi, karena kalian pergi menyempurnakan, kemerdekaan negeri ini.” Ataukah, seperti kata Sayyid Quthub, “Kau mulai jemu berjuang, lalu kau tanggalkan senjata dari bahumu?”
Kemiskinan Berkelanjutan
Badan Pusat Statistik (BPS) melansir bahwa pada 2010 sekitar 31 juta jiwa penduduk masih dalam keadaan miskin (13.33 persen). Hal baiknya adalah jumlah ini menurun dibandingkan 2009 yang mencapai 32,5 juta jiwa (14,15 persen). Namun, hal buruknya justru terletak pada aspek fundamental, yaitu perbedaan indikator kemiskinan.
World Bank melansir bahwa seseorang dikatakan miskin ketika tidak sanggup memenuhi kebutuhan kalori standar untuk tubuhnya (2.000-2.500 kalori per hari), di mana jika dikonversi ke dalam dolar, dibutuhkan minimal satu dolar AS per hari atau 30 dolar AS per bulan (sekitar Rp 270 ribu).
Namun, BPS menggunakan indikator lebih rendah, yaitu Rp 211.726 per kapita per bulan. Belum lagi masalah perhitungan lain, di mana seseorang yang telah bekerja sudah tidak dianggap miskin. Padahal, bekerja bukan jaminan semua kebutuhannya terpenuhi.
Terlepas dari perbedaan indikator kemiskinan tersebut, satu hal yang pasti bahwa 32,5 juta jiwa dari total warga Negara berpenduduk muslim terbesar di dunia ini adalah miskin. Padahal, dunia pun mengakui, negeri ini merupakan wilayah dengan potensi sumber daya alam yang melimpah. Dus, wajar sekali jika kita bertanya, tidak adakah korelasi positif-konstruktif antara keberlimpahan sumber daya alam dengan kesejahteraan rakyat negeri zamrud khatulistiwa ini?
Kemiskinan merupakan persoalan asasi yang multikompleks, tentu sangat mengganggu laju pembangunan negara ini pasca sentralisasi pemangunan berkepanjangan selama rezim orde baru plus pembangunan setengah hati oleh rezim reformasi, terutama selama kepemimpinan Pak Beye yang lebih mengutamakan penguatan citra diri sendiri.
Karenanya, urgently required (sangat dibutuhkan) pahlawan -dalam artian yang luas- untuk Indonesia kontemporer. Masih adakah mereka para pahlawan itu saat ini? Seperti apakah criteria utama mereka? Siapa yang bisa mereposisi Bung Tomo, Soekarno, Hatta, HAMKA, Teuku Umar, Cut Nyak Dien, Malahayati, dan sederetan pahlawan nasional lainnya?
Kriteria Utama Kepahlawanan
Dalam Mencari Pahlawan Indonesia (2004), M Anis Matta menjelaskan secara gamblang dan panjang lebar tentang pelbagai karakter yang harus dimiliki oleh seorang pahlawan. Namun bagi penulis, paling tidak ada tujuh criteria utama kepahlawanan berikut ini.
Pertama, pekerjaan-pekerjaan besar dalam sejarah hanya dapat diselesaikan oleh mereka yang mempunyai naluri kepahlawanan. Itulah sebabnya kita menyebut para pahlawan itu orang-orang besar walau berfisik kecil atau bahkah tidak sempurna (cacat). Karena itu pula mereka selalu muncul di saat-saat sulit atau sengaja (Allah) lahir (kan mereka) di tengah situasi sulit. Namun mereka bukanlah kiriman gratis dari langit.
Kedua, pahlawan sejati selalu merupakan seorang pemberani sejati. Pekerjaan/tantangan besar selalu membutuhkan keberanian yang sama besarnya sebab selalu ada resiko besar di dalamnya. Keberanian itu fitrah tertanam pada diri seseorang atau diperoleh melalui latihan. Namun keduanya selalu berpijak kuat pada keyakinan dan cinta yang kuat terhadap prinsip dan jalan hidup, kepercayaan pada hari akhirat dan kerinduan yang menderu-deru untuk bertemuNya. Semua itu adalah mata air yang mengalirkan keberanian dalam jiwa seorang mukmin.
Ketiga, tidak ada keberanian yang sempurna tanpa kesabaran paripurna. Keberanian merupakan aspek ekspansif dari kepahlawanan sementara kesabaran adalah aspek defensifnya. Kesabaran adalah daya tahan psikologis yang menentukan sejauh apa seorang pahlawan mampu membawa beban idealisme kepahlawanan. Kesabaran ibarat wanita yang melahirkan banyak sifat lainnya; santun, lembut, jujur, amanah, kesungguhan, kesinambungan dalam bekerja dan yang paling penting adalah ketenangan.
Keempat, seseorang disebut pahlawan karena kebaikan dan kekuatannya jauh mengalahkan sisi keburukan dan kelemahannya. Tetapi kebaikan dan kekuatan itu bukanlah untuk dirinya sendiri, melainkan untuk kehidupan masyarakat. Itulah sebabnya tidak semua orang baik dan kuat menjadi pahlawan yang dikenang dalam memori kolektif /sejarah.
Nilai sosial setiap pahlawan itu berbanding lurus dengan kadar manfaat yang dirasakan masyarakat dari keseluruhan performance kepribadiannya. Dus, hadirnya pahlawan sejati yang tidak lagi hidup untuk dirinya sendiri tetapi hidup dan mengorbankan semua yang dimilikinya bagi orang lain dan agamanya merupakan jawaban tuntas dari pertanyaan “Apakah yang dibutuhkan untuk menegakkan syariat (baca; hukum) dalam realitas kehidupan?”
Kelima, kompetisi. Pahlawan mukmin sejati tidak akan membuang energi mereka untuk memikirkan seperti apa dia akan ditempatkan dalam sejarah manusia. Melainkan bagaimana meraih posisi terhormat di sisiNya, itulah cita-cita sejatinya. Itulah ambisi yang sebenarnya, ambisi yang disyariatkan, ambisi yang melahirkan semangat kompetisi yang tidak bertepi. Adapun indicator yang digunakan untuk menilai kompetisi itu adalah keterpaduan yang harmonis antara waktu (kecepatan), kualitas, kuantitas dan manfaat social dari tiap pekerjaan yang dilakukan.
Keenam, filosofi yang solid. Tindakan kepahlawanan selalu lahir dari pikiran kepahlawanan. Orang yang tidak mempunyai pikiran-pikiran besar tidak akan pernah terarahkan untuk melakukan tindakan-tindakan kepahlwanan. Filosofi membicarakan harapan, arti kehormatan, sumber motivasi, apa yang disukai dan atau dibenci, proses pemaknaan terhadap sesuatu, fungsi keterampilan kepribadian dan seterusnya.
Ketujuh, optimisme yang merupakan titik tengah antara idealisme yang tidak realistis dengan realism yang terlalu pragmatis. Pahlawan mukmin sejati percaya bahwa bekerja saja merupakan suatu kemenangan; atas rasa takut, sifat pengecut, cinta dunia dan atas diri sendiri. Adapun hasil, bahwa mereka gugur dalam proses pekerjaan itu atau masih sempat menikmatinya, semua itu diserahkan kepadaNya. Dari keyakinan seperti inilah lahir optimisme yang solid.
Akhirnya, perlu ditegaskan di sini bahwa semua kita –orang biasa- bisa menjadi pahlawan untuk negeri ini. Orang-orang biasa yang melakukan pekerjaan besar itulah yang dibutuhkan di saat krisis. Bukan orang yang tampak besar tapi hanya melakukan kerja-kerja kecil lalu menulisnya dalam autobiografinya.
Para pahlawan bukan untuk dikagumi, tapi untuk diteladani. Karena itu, makna-makna yang melatari tindakan mereka yang perlu dihadirkan ke dalam kesadaran kita. Di masa pembangunan ini, tuan hidup kembali, dan bara kagum menjadi api….. (Chairil Anwar)
Ahmad Arif
Penulis adalah mantan pengurus pusat IMAPA (Ikatan Mahasiswa dan Pemuda Aceh) Jakarta. Delegasi khusus pemuda Aceh sekaligus panelist speaker dalam “1st Conference On Cultural Cooperation Among The Muslim Youth”, Bursa – Turki, 2005
Source: Okezone.com